Sabtu, 12 Juli 2008

BANDA ACEH


BANDA ACEH 3 BULAN SETELAH DILANDA TSUNAMI.
("edited version" Tulisan ini telah dimuat dalam Harian Umum Suara Merdeka) bersambung dalam 2 bagian, edisi 1: Jumat 18 Maret 2oo5.
oleh: gagoek hardiman

Pada minggu pagi sekitar pukul 07.58 WIB tgl 26 Desember 2004 terjadi gempa yang sangat hebat sampai 9 skala Richter, sehingga banyak bangunan retak atau roboh, air laut mendadak surut orang orang ditepi pantai hanya tertegun bahkan ada yang turun kepantai untuk menangkap ikan yang tertinggal di pasir.


Kemudian datang ombak pertama yang disusul dengan ombak kedua (menurut data tinggi ombak di pantai Ulee Lheue 15 m dari MSL ( mean sea level) dan di Lhok Nga ( sebelah barat Ulee Lheue) tinggi Tsunami 15- 30 m diatas MSL waktu tiba Tsunami 15 - 40 menit setelah gempa, air laut masuk kedalam kota dengan kecepatan 3 s/d 7m/dt. Berwarna hitam dengan kekuatan yang dahsyat. Terlihat banyak sekali burung camar beterbangan. Mulailah terjadi kepanikan dan tragedi yang sangat dahyat, dimana mana terdengar teriakan dalam bahasa Aceh “Plueng, Plueng Ie kateuka” dan dalam bahasa Indonesia berarti: lari, lari air datang. Kronologi kejadian tersebut masih lancar diceriterakan oleh saksi saksi hidup Tsunami kepada penulis. .

Dampak bencana Tsunami setelah 3 bulan.
Mulai dari pandangan saat pesawat akan mendarat di banda Aceh sudah nampak jelas bagian kota yang hancur dilanda Tsunami. Kehancuran tersebut lebih terasa saat kita berdiri di kawasan wisata pantai Ulee Lheue. Tugu Syuhada yang berdiri tegak di tepi pantai merupakan saksi betapa dahsyatnya gelombang Tsunami. Endapan air yang membekas ditugu itu apabila di hitung minimal 20 m. Daerah sekitar tugu yang merupakan daerah permukiman dapat dikatakan rata dengan tanah. Bahkan lahan perumahan Bea Cukai dan Kepolisian lenyap menjelma menjadi laut. Ditengah kehancuran Ulee Lheue masih berdiri sebuah masjid dengan konstruksi batu bata tanpa beton bertulang, yang masih berdiri dapat dikatakan 80 % utuh. Masyarakat Aceh menyebutkan keajaiban. Kawasan permukiman pinggir pantai yang memang merupakan daerah padat, hancur, bahkan menurut beberapa tokoh asing termasuk komentar ex. Kanselir Jerman Barat Helmut Khol yang dimuat oleh harian Serambi Indonesia. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana Tsunami mengingatkan kota-kota di Jerman yang hancur di akhir Perang Dunia Kedua. Maka dampak kekejaman Tsunami masih dapat dilihat pada jarak 2 km dari pantai.

Kantor pusat Administrasi dan Produksi harian Serambi Indonesia hancur total sebagaian staff meninggal atau hilang. Saat ini sesuai pengamatan kantor sementara yang menempati ruko di Jl. Tengku Iskandar Beurawe nampak masih dirundung duka meskipun aktivitas penerbitan sudah berjalan lancar.

Sebuah kapal pembangkit tenaga listrik raksasa PLTD Apung I seperti yang telah diberitakan diberbagai media masa, terdampar jauh dari pantai di tengah kawasan permukiman.

Bangunan Lembaga Pemasyarakatan di Kedah nyaris musnah, sebagaian besar tahanan mati, karena pintu besi tetap tertutup sampai hancur dilanda Tsunami korban antara lain Zulkarnain ex walikota banda Aceh yang divonis 5 tahun karena terlibat kasus korupsi dana Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) 3,5 milyar .

Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Lhok Nga total musnah ikut sebagai korban Tsunami adalah Cut Nurasyikin “Ketua Srikandi Aceh” yang di vonis 11 Tahun dan Salbiah yang divonis 18 tahun dengan tuduhan sebagai salah satu Panglima GAM. Rumah sakit di Ulee Lheue dan di „Blang Oi“ (Artinya di dalam air) benar benar berada di dalam air lebih dari 10 m. Hampir semua tenaga medis yang sedang bertugas dan pasien menjadi korban meninggal atau hilang.

Berdasarkan fakta di lapangan 95%bangunan dibibir pantai sampai jarak 2 km ke arah pusat kota hancur dan rata dengan tanah khususnya di 6 Kecamatan; Meuraxa, Kutaraja, Kuta Alam, Syiah Kuala, Jaya Baru, dan sebagian Baiturrahman.

Haruskah mereka selalu menangis dan meratapi musibah yang telah berlalu tersebut. Tentu saja tidak. Seperti khotbah Jum’at di Masjid Baiturrahman di pusat kota Aceh. Yang pada hari hari pertama bencana Tsunami dipenuhi dengan mayat orang dewasa dan anak anak. Pada Tg 25 Februari 2005, seorang Imam dari pondok Gontor, menguatkan warga Aceh dalam Khotbahnya, yang pada prinsipnya mengingatkan: Hidup mati adalah ketentuan Allah kita harus tetap tabah, harus tetap bergairah dalam menatap kehidupan yang akan datang. Kita tidak boleh takut mati ataupun takut hidup. Kalau takut mati jangan hidup kalau takut hidup mati saja.

Memang dibeberapa „Cafe Terapung“ di Ulee Kareng Prada arah Darussalam tempat nongkrong anak muda, dipadati muda-mudi (berjilbab) bercengkrama sambil minum kopi Aceh serta mendengarkan musik sampai larut malam. Namun bukan berarti mereka melupakan kesedihan namun beberapa dari mereka ingin mengalihkan perasaan sedihnya, agar jiwa mereka tetap tegar dan tabah. Saya pernah mendengar langsung dari seorang kepala rumah tangga yang kehilangan istri yang sedang mengandung, beserta 3 orang anaknya dan 2 adik kandung. Dia justru ingin terlibat pembicaraan santai diselingi humor untuk mengalihkan perasaan pedih yang tidak tertahankan didalam lubuk hatinya. Namun menurtutnya tetap saja perasaan tersebut timbul saat dia berada dalam keheningan dan kesendirian, akan terbayang rekaman kehidupan anak istrinya, tak terasa meneteslah air matanya. Ketekunan masyarakat Aceh dalam hal keagamaan merupakan faktor kuat yang membuat tabah mereka dalam menyongsong masa depan pasca Tsunami.

Evakuasi mayat

Pembersihan puing puing dengan alat-alat berat, diawasi oleh aparat dari ABRI serta tim relawan evakuasi mayat, dengan ciri bersepatu karet dan membawa kantong platik kuning masih merupakan pemandangan sehari hari meskipun Tsunami sudah 3 bulan berlalu. Relawan evakuasi mayat yang mulai aktiv sejak hari kedua setelah bencana Tsunami menurut informasi adalah relawan dari Front Pembela Islam yang jarang sekali diliput oleh Televisi atau Media Cetak. Sampai tgl 5 maret 2005 setiap hari masih sering ditemukan mayat dibawah puing puing yang diangkat dengan alat berat. Bahkan ada bangunan bertingkat yang roboh diberi tulisan: Tolong mereka yang masih berada dalam reruntuhan sebagai sesama manusia. Memang dapat difahami, selama belum semua sampah berat, dan puing puing dibersihkan diperkirakan masih terdapat mayat dibawahnya. Sampai saat ini korban hilang masih sangat banyak, kemungkinan mereka telah disemayamkan dalam kuburan masal atau sebagaian masih tertimbun puing-puing , dan mudah mudahan sebagaian yang hilang itu selamat tetapi belum diketahui keberadaanya. Oleh karena itu dibeberapa tempat dan media antara lain rumah sakit, bandara dan iklan surat kabar masih tertulis: Dicari anggota keluarga yang hilang, bagi yang menemukan atau merawat agar melapor ke nomor HP salah satu keluarga mereka. Dan bersamaan dengan iklan/ pengumuman tersebut di pasang foto mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua. Sungguh sangat mengharukan sekali.

Perhatian Nasional dan Internasional.


Seorang sopir taksi mengatakan bahwa sebelumnya selalu terjadi bencana (istilah setempat konflik) di Aceh, sekarang terjadi bencana yang sangat dahsyat. Apabila sebelum bencana Tsunami orang asing sangat sulit masuk Aceh, sekarang dari segala penjuru dunia, tercatat 33 Negara, telah mengirimkan tenaga bantuan ke Aceh (Indonesia). Negara yang memberikan bantuan terbesar adalah Jerman antara lain Rumah Sakit Tenda yang didirikan

dihalaman rumah sakit Banda Aceh, juga alat-alat berat dll. Posko bantuan Turki nampak dimana-mana mulai dengan pembagian roti dibeberapa tempat secara rutin, sampai pengiriman alat alat berat termasuk mobil penyapu jalan. Tentu saja tentara dan relawan dari negara lain seperti Spanyol, Jepang, Malaysia, Pakistan dll pada 3 bulan setelah Tsunami masih nampak aktiv membantu di bidang kesehatan, pengiriman kebutuhan hidup di tenda-tenda pengungsian dan pembersihan puing puing di daerah bencana. Bantuan dari Amerika yang baru datang adalah Kapal Rumah Sakit yang sangat lengkap peralatan medisnya, tapi sayang datangnya agak terlambat, 3 bulan setelah Tsunami baru datang pasien pasien pertama yang ditangani bahkan bukan dari korban Tsunami, namun pada prinsipnya bantuan tersebut sangat positif dan bermanfaat bagi masyarakat Aceh. Kerena rumah sakit yang ada sekarang sudah tidak memadai untuk menerima pasien. Nampak antrian pasien yang sangat panjang, alat-alatnya pun sebagaian rusak terendam banjir Gelombang Tsunami.

Perhatian dari berbagai Institusi dari berbagai propinsi didalam negeri, 3 bulan setelah Tsunami masih nampak aktiv dengan berbagai program bantuan mereka. Mulai dari LSM, partai, organisasi keagamaan,perguruan tinggi, institusi pemerintah/swasta dll.

Penyiapan Cetak Biru sebagai arahan Usaha rehabilitasi kedepan.


Kondisi kehancuran tersebut tidak hanya dapat diratapi namun harus diambil langkah nyata yang positif dan konstruktif. Tim Bapenas dan PU bekerjasama dengan ITB dan ASPI (Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia) telah memulai mempersiapkan rencana yang di sebut Cetak Biru. Penulis termasuk tim verifikasi blue print tersebut dan berada di NAD tgl 24 Februari. sampai dengan tgl 5 maret 2005. Konsep blue print tersebut sudah di sosialisasikan dalam lokakarya akbar bertema: Penjaringan aspirasi masyarakat dalam rangka penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Lokakarya tersebut dilaksanakan di Aula yang megah di Universitas Syiah Kuala. Pada prinsipnya konsep tersebut disusun dengan memperhatikan perencanaan kota Banda Aceh sebelum Tsunami dan kondisi setelah Tsunami. Dengan memperhatikan nilai sosial, budaya setempat dan memperhatikan aspirasi masyarakat serta mensinergikan semua potensi yang ada. Tentu certak biru tersebut dimulai dari kebijaksanaan macro tingkat propinsi NAD, dan kebijaksanaan tingkat daerah mulai Lhoksumawe, Pidie, Meulaboeh, Calang, Aceh Besar, Banda Aceh dan sumua kota/kawasan yang terkena Tsunami. Cetak biru dari Bapenas tersebut dimaksudkan untuk pedoman dari rekonstruksi di berbagai sektor termasuk untuk system prasarana kota seperti jalan, drainase, listrik, telepon, bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial dll. Pada dasarnya cetak biru akan memberikan pengarahan tentang: Struktur Ruang, Pola Ruang, Zonasi, Action Plan, arahan untuk Zoning Regulation dan arahan untuk Building Codes.

Untuk Banda Aceh. Kebijaksanaan yang diambil adalah mengutamakan kepentingan warga yang terkena Tsunami. Sehingga pendataan tanah hak milik merupakan agenda utama yang akan mendasari pengaturan kembali pola lingkungan atau konsolidasi lahan. Menurut ketua Dinas Pertanahan Banda Aceh jual beli tanah dalam beberapa tahun ini pada daerah bencana tidak diperkenankan

Pada umumnya warga yang ingin tetap kembali ke dekat laut adalah nelayan, namun pemukiman nelayan harus ditata kembali dengan baik sebagai contoh daerah Meunasah Tuha dari 1350 warga, yang hidup kurang lebih hanya 300 orang. Namun ada yang tidak mungkin kembali karena sebagaian besar penduduk meninggal, Sehingga diupayakan bergabung dengan nelayan lokasi lain. Sarana prasarana lingkungan hancur total bahkan ada yang sudah berubah menjadi laut ataupun genangan air. Sehingga harus dipikirkan relokasi beberapa penghuni yang selamat, ketempat yang aman. Selain itu prinsip utama adalah perlindungan pantai. Untuk mengurangi kekuatan Tsunamai dimasa mendatang, meskipun tidak diharapkan terulangnya bencana dahyat tersebut.

Setidak tidaknya ada 3 hal dalam penataan daerah pantai untuk rehabilitasi:

- Penanaman mangrove setebal 200-300 m, kemudian kearah darat dibuat tambak selebar 800- 1000 m, kemudian Taman kota 200-300 m yang dibangun diatas sisa sisa reruntuhan, kemudian jalan sejajar pantai dengan jarak dari garis pantai lk. 1600 m. Selanjutnya daerah permukiman yang dilengkapi dengan “escape tower”, dalam pelaksanaan menara penyelamat tersebut dapat difungsikan sebagai menara masjid agar tidak berkesan sebagai monster yang aneh.

- Kawasan permukiman nelayan, dapat lebih dekat dengan laut karena kehidupan mereka menghendaki kondisi demikian. Pola yang diusulkan mangrove 200-300 m, kemudian tambak selebar 300 m, setelah tambak dibangun pelindung (Embankment) yang dilanjutkan dengan Permukiman nelayan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai antara lain Tempat Pelelangan Ikan. Setelah perkampungan nelayan direncanakan, hutan kota 200- 300 m yang dibangun diatas sisa sisa pembersihan reruntuhan/sampah Tsunami. Kemudian jalan sejajar pantai kemudian daerah permukiman umum.

- Yang ketiga adalah kawasan untuk mengenang bencana Tsunami di pantai Ulee Lheue Banda Aceh.

Tsunami Memorial Park.

Bencana yang mengakibatkan kehancuran fisik disertai ratusan ribu korban tersebut sudah terjadi. Diawali gempa dengan skala 8,9 – 9 merupakan gempa terbesar keempat didunia, namun dampak kehancuran yang diakibatkanya merupakan terbesar dalam sejarah. Bencana Tsunami di Aceh menarik simpati dunia internasional 33 negara mengirimkan delegasi banuannya. Dalam kenyataannya tidak dapat dihindari banyak orang dari luar dan dalam negeri ingin mengetahui secara langsung dampak Tsunami yang sangat dahyat tersebut, tanpa ada maksud untuk melihat kesengsaraan korban. Tetapi untuk menolong,, membangun kembali, mempelajari bahkan untuk mengantisipasi dampak Tsunami dimasa mendatang di bagian manapun di dunia ini.

Beberapa pakar mengusulkan Banda Aceh layak dijadikan pusat informasi, penelitian, study, museum tentang Tsunami. Untuk itu lokasi tertentu di Ulee Lheue dan sekitarnya misal kecamatan Kota Raja, Meuraxa, Blang Oi dan lokasi lain yang tepat akan dibiarkan kondisinya sebagai Tsunami Memorial Park. Termasuk kapal tenaga listrik yang terdampar tidak akan dikembalikan kelaut. Saat ini semua orang yang ke Banda Aceh selalu ingin melihat kapal tsb. Masyarakat setempat menyebut mereka “Turis Tsunami”.

Di Berlin juga ada beberapa bangunan yang terkena bom tentara Sekutu pada akhir perang dunia II yang sampai saat ini dibiarkan rusak misal Gedachtniss Kirche (Gereja kenangan) dengan melihat dampak perang dunia tersebut diharapkan orang semakin arif dan bijaksana dengan mengutamakan kedamaian. Pada tempat tempat tertentu di selururuh kawasan yang terkena bencana Tsunami diusulkan adanya pemasangan rambu (signage) dengan gambar ombak serta tulisan “Seumong Aceh 2004” Sehingga dimasa mendatang dibeberapa daerah bencana pada titik titik strategis akan diketahui informasi jarak posisi tersebut dari laut misal 2,5 km. Ketinggian air saat Tsunami pada posisi tersebut 2 m, atau jarak dari laut 100 m tinggi permukaan air saat Tsunami 20 m.

“Seumon”; merupakan istilah penduduk asli pulau Simuelu untuk ombak dahsyat yang menerjang daratan atau dalam bahasa Jepang yang sudah diakui secara internasional “Tsunami”. Pada saat gempa yang diikuti surutnya air laut hampir semua penduduk pulau Simuelu yang berada di dekat pantai langsung naik kebukit sehingga korban jiwa sangat sedikit. Sudah selayaknya di semua wilayah pantai Indonesia yang rawan gempa disosialisasikan tanda-tanda Tsunami tersebut untuk menghindari korban jiwa.

Dampak Tsunami secara umum di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan konflik GAM.

Setelah beberapa hari di Banda Aceh , penulis mencoba menengok Takengon kota yang terletak di Aceh bagian tengah di daerah pegunungan, terletak ditepi danau laut air tawar yang sangat luas. Melalui jalan darat menggunakan angkutan umum L 300 selama 7 jam. Melewati Pidie kota di pantai timur NAD. Meskipun pusat gempa terletak di pantai barat namun karena sifat kelenturan gelombang maka bagaian pantai timur NAD juga dilanda bencana Tsunami antara lain Pidie, Bireuen dan Lhoksumawe. Nampak perumahan/ bangunan didekat pantai hancur. Kemah pungungsian sesekali nampak ditepi jalan. Setelah perjalanan kearah selatan sampai di Bireuen, kendaraan berbelok ke barat melalui kawasan hutan Bireuen dengan jalan berliku, jurang dan tebing curam di tepi jalan sesekali sebagaian jalan longsor ke jurang atau tanah ditebing longsor menutup jalan.

Sejak Pidie sampai Takengon panser tentara ataupun Brimob, pos pos ditepi jalan dikelilingi karung pasir serta aparat dengan rompi anti peluru serta senapan siap tembak merupakan pemandangan biasa.. Menurut sesama penumpang kendaraan umum L.300 warga asli Aceh, keadaan tersebut dikarenakan sering ada konflik dan pencegatan kendaraan oleh GAM,

Alhamdullilah penulis dengan selamat sampai di Takengon. Ternyata banyak warga dari daerah bencana Tsunami yang berasal dari Takengon untuk sementara pulang. Takengon memang sesuai untuk menenangkan pikiran karena kotanya dingin dan indah namun sayang karena „konflik” hotel Renggali yang ada di tepian danau nyaris tidak kelihatan aktifitasnya. Karena jalan yang masih belum sepenuhnya aman, baik dari Medan maupun dari Banda Aceh terutama diwaktu malam..

Dari Takengon sebenarnya terdapat jalan ke Meulaboh dan Calang di pantai barat, namun diawal bulan setelah Tsunami jalur tersebut putus. Hingga Meulaboh dan Calang sangat terisolir, secara bertahap jalan dan jembatan yang rusak diperbaiki oleh marinir dan satuan lainnya. Saat ini Meulaboh sudah dapat dicapai dari Takengon meskipun kondisi jalan masih memprihatinkan. Diharapkan dalam beberapa hari mendatang bantuan lewat darat untuk pantai barat antara lain Calang dapat direalisir, selama ini bantuan dilakukan lewat udara dan laut.

Kota Calang 80% hancur. Sebagaian besar penduduk meninggal atau hilang, antara lain istri dan anak walikota serta anak istri kepala Dinas PU Calang.

Karena terputusnya jalur darat maka rekan penulis, Ir. Fajar Hari Mardiansjah. Msc dosen planologi FT Undip yang bertugas untuk verifikasi cetak biru pasca Tsunami untuk wilayah Calang terpaksa naik helikopter dari Banda Aceh ke Calang pulang pergi. Dari tempat mendarat helikopter ke tempat bencana di kota Calang, demi keamanan dikawal oleh 2 peleton tentara dan dilanjutkan dengan naik tank tempur besar, nyaris masuk jurang akibat hand rem sebelah kanan tidak berfungsi dengan sempurna sementara medan cukup berat. Pengawalan ketat tersebut disebabkan adanya jam malam karena sehari sebelumnya ada pengibaran bendera GAM di bukit kawasan Calang dan kontak senjata.

Akibat hancurnya jalan ditepi pantai barat NAD, ribuan korban Tsunami antara lain Meulaboh dan Calang berhari-hari tidak terjangkau oleh tim penolong dan tim pengirim bantuan.

Beberapa ilmuwan dan warga Aceh menyatakan bahwa rehabilitasi pasca Tsunami tidak hanya difocuskan pada pembangunan kembali sarana dan prasarana lingkungan didaerah bencana tetapi juga jalur jalur yang menghubungkan pantai barat dan timur antara lain melalui Takengon. Hal yang lebih penting lagi pembangunan di NAD secara umum baik yang berskala regional maupun lokal pasca Tsunami ini harus mengarah ke peningkatan kualitas dan kuantitas, sedang untuk daerah yang terkena bencana Tsunami secara langsung target yang diharapkan oleh mesyarakat adalah minimal kembali ke kondisi semula. Hal itu perlu ditunjang dengan adanya jaminan koordinasi perencanaan dan realisasi pembangunan yang solid dengan mengutamakan sinergi positif semua potensi dengan mengesampingkan keuntungan pribadi serta jaminan perdamaian, keamanan dan ketenangan. Semoga setelah bencana Tsunami berlalu, bencana lain yang disebabkan konflik yang berkepanjangan dapat dihentikan agar julukan Aceh sebagai Serambi Mekah dapat terwujud kembali dengan penuh kearifan, keindahan dan kedamaian.

( DR.Ing. Ir. Gagoek Hardiman. Dosen Jurusan Arsitektur fakultas Teknik Undip/ Anggota Tim verifikasi Cetak Biru NAD dan SUMUT



Tidak ada komentar: