MENELUSURI “SABANG” SETELAH PULIH DARI BENCANA TSUNAMI
(edited Version telah dimuat di Harian Umum Suara Merdeka edisi Minggu tgl. 5 Desember 2010. hal 31).
oleh: Gagoek Hardiman.
Semenjak masa kecil mulai dari taman kanan-kanak kita sudah sering menyanyikan lagu nasional karangan R Suharjo yang berjudul; “Dari Sabang sampai Merauke”. Sehingga saat penulis mendapat undangan dari PUSBIKTEK Kementrian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Goethe Institut Jerman, sebagai pembicara pada seminar di Jurusan Arsitektur FT Unsyiah. Tidaklah lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi Sabang di pulau Weh yang nampak jelas dipandang dari pantai Ulee Lheue kota Banda Aceh.
Untuk menuju ke pulau Weh kami menuju pelabuhan fery Ulee Lheue Banda Aceh. Sampai di Ulee Lheue memory penulis berputar kembali ke masa lalu, saat kunjungan pertama ke Banda Aceh bulan februari 2005, tepat 2 bulan setelah terjadinya bencana Tsunami dalam rangka pengabdian kepada masyarakat bersama beberapa dosen FT Undip dibawah pimpinan Bapak Dr.Ir.Joesron Alie Syahbana MSc. Sejauh mata memandang di sekitar pantai Ulee Lheu hanya nampak pemandangan yang memilukan hati, kehancuran total mayatpun banyak yang masih dievakuasi dari reruntuhan bangunan. Namun pada kunjungan yang keempat pada tahun 2010, kondisi lingkungan sudah pulih kembali, pantai Ulee Lheue telah direhabilitasi dan direkonstruksi menjadi obyek wisata kota dengan berbagai sarana dan prasarana rekreasi dan transportasi. Pelabuhan fery yang hancur dan musnah dilanda ombak Tsunami telah dibangun kembali dengan megah.
Dari pelabuhan Feri Ulee Lheue menuju pulau Weh tersedia fery kecil dengan jadwal pemberangkatan dua kali sehari, waktu yang ditempuh kurang dari 1 jam . Terdapat pula fery besar yang dapat memuat mobil dengan jadwal sekali dalam sehari. Penulis menggunakan Fery kecil dengan nama Pulo Rondo yang merupakan kapal cepat terbuat dari fiber glass.
Sampai di pelabuhan fery di kota Balohan pulau Weh, penumpang kapal disambut dengan berbagai angkutan umum mulai dari ojek, becak motor, taxi plat kuning dan taxi plat hitam.
Taxi plat kuning justru tarifnya terkadang lebih murah dibanding taxi plat hitam yang kodisinya rata rata lebih unggul. Untuk mobil plat hitam yang ber AC sewa perhari 400 sampai 500 ribu rupiah. Sedang untuk mobil plat Kuning non AC rata-rata sewa perhari 300 sampai 400 ribu rupiah. Namun harga sewa tersebut juga tetap sama meskipun waktu yang akan kita manfaatkan hanya sekitar 7 jam, antara kedatangan kapal jam 9.00 WIB dan pemberangakatan kapal kembali ke banda Aceh jam 16.00 WIB.
Sopir taxi yang saya sewa juga seolah-olah berfungsi sebagai “guide”, sebagaimana layaknya semua sopir taxi di kawasan wisata. Bahkan menurut pengakuannya pernah menempuh pendidikan sastra Inggris. Sehingga sangat mahir dalam memandu wisatawan asing keliling pulau Weh.
Pulau Weh sering juga disebut Sabang karena berada di wilayah administratif Kota Sabang. Merupakan pulau kecil dengan luas 156,3 km², tetapi memiliki banyak pegunungan dengan puncak tertinggi 617 meter. Berbagai obyek ekoturisme yang sangat menarik terutama resor pantai, danau, mendaki gunung berapi, air terjun dan menelusuri Goa alam terdapat di pulau kecil tersebut. Mengenai bahaya Tsunami yang pernah melanda kawasan pantai, nampak sudah terlupakan baik bagi penduduk setempat maupun pengunjung dari luar daerah. Meskipun demikian untuk mengantisipasi hal tersebut, selain pemasangan perangkat “tsunami early warning system” di laut, pada beberapa tempat juga terdapat informasi petunjuk jalur penyelamatan atau escape route apabila terjadi bencana alam Tsunami.
Rencana perjalanan kami adalah mengelilingi pulau Weh. Sebagai tujuan pertama adalah kota Sabang. Dalam perjalanan ke kota Sabang kami melewati Cut Ba’u yang terletak di punggung bukit, sehingga dapat melihat dengan jelas danau Aneuklaot yang sangat indah. Dari kejauhan nampak kelompok bangunan baru yang megah di tepi danau. Bangunan tersebut adalah sekolahan SMP dan SMA, sebagai bantuan dari negara Jerman dalam rangka rehabilitasi Tsunami. Dari tempat ketinggian tersebut, nampak pula pelabuhan bebas Sabang, yang dipergunakan sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati selat Malaka, sesuai dengan status Sabang sebagai Zona perdagangan bebas sejak tahun 2000.
Dari kota Sabang kami langsung menuju lokasi tugu kilo meter nol bagian terbarat Indonesia di hutan lindung Murung Ujung. Dalam perjalanan menuju lokasi kilometer Zero “the weternmost Point of Indonesia’’, di tepi jalan nampak beberapa meriam raksaksa menghadap ke laut. Meriam yang ditata rapi berjajar menghadap laut tersebut merupakan cagar budaya. Menurut informasi meriam tersebut pada tahun 2003 ditemukan di dua lokasi Pulau Weh. Sepucuk meriam ditemukan di Aneuklaot dan tiga pucuk meriam ditemukan di Cot Ba’u. Pada tahun 2004 meriam tersebut dipindahkan di lokasi sekarang agar mudah dinikmati oleh masyarakat terutama wisatawan.
Selanjutnya atas saran supir taxi yang merangkap pemandu wisata kami menuju pantai andalan Pulau Weh di Teupin Sirkui, Gapang dan Iboi. Tak lama kemudian kami sampai di pantai “Teupin Sirkui” dengan air laut berwarna biru dan hijau yang sangat jernih sehingga ikan laut warna-warni nampak jelas dipandang dari dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Dermaga tersebut digunakan untuk menaikan dan menurunkan wisatawan dari perahu boat.
Di pantai Teupin Sirkui tersedia beberapa kios cindra mata khas pulau Weh dan beberapa kedai makan yang antara lain menghidangkan berbagai menu ikan laut. Biasanya tempat ini merupakan tempat istirahat makan siang bagi wisatawan. Dari berbagai minuman kemasan yang ditawarkan terdapat pula “bir” tentu saja dengan adanya peraturan yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam maka pada kaleng “bir” tersebut tertera tulisan kandungan alkohol 0%. Setelah penulis mencoba merasakan, ternyata benar “bir” tersebut bebas alkohol. Karena bir yang bisa kita jumpai di Semarang dengan kandungan alkohol diatas 3% apabila ketahuan oleh polisi syariah akan menjadi masalah besar. Tentu saja bagi wisatawan manca negara yang menginginkan “bir beralkohol” dapat membeli melalui perantara yang memiliki strategi khusus untuk menghindari polisi syariah.
Menurut aturan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) wanita beragama islam harus memakai pakaian muslimah apabila keluar rumah. Namun di pantai ini kita dengan bebas dapat menyaksikan wanita mengenakan bikini. Karena seolah olah daerah pantai merupakan kawasan khusus yang tidak diamati secara cermat oleh polisi syariah.
Dari Teupin Sirkui kami malanjutkan perjalanan ke daerah wisata pantai yang disebut Gapang resort. Kawasan pantai ini dilengkapi oleh motel atau pesanggerahan mewah terbangun dari konstruksi kayu dengan tampilan arsitektur tropis yang menarik. Di sini tersedia pula ruang konferensi yang langsung menghadap ke laut. Daerah ini dikembangkan dengan prasarana dan prasarana wisata yang lengkap pada era pemerintahan presiden Habibie, dalam rangka meningkatkan potensi wisata di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pantai terakhir yang kami kunjungi adalah pantai Iboih yang merupakan sorganya pecinta olah raga berenang di bawah laut atau “Diving”. Semua perlengkapan menyelam dapat disewa di sini. Kawasan ini dilingkupi hutan yang nampak sangat alami. Sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan wisatawan seperti kafe dan hotel telah tersedia dengan lengkap. Bagi turis yang hendak menikmati pemandangan bawah laut menyaksikan terumbu karang dan ikan warna warni, dapat menggunakan jasa perahu untuk mengantar sampai ke lokasi penyelaman di sekitar pulau Rubiah yang terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena keindahan ikan dan terumbu karangnya. Pulau Rubiah terletak dekat sekali dengan pantai Iboih.
Setelah puas berkeliling pulau Weh Akhirnya kami kembali ke pelabuhan feri Bolangong, untuk kembali ke Banda Aceh dengan membawa kenangan indah tentang ekowisata yang menakjubkan di wilayah terbarat Indonesia.
Tulisan pendukung.
KILOMETER ZERO UJUNG TERBARAT INDONESIA.
Target Impian para biker “Club Motor”.
Sabang dikenal sebagai lokasi terbarat dari wilayah Nusantara, meskipun kenyataannya titik kilometer nol terbarat Indonesia masih terletak beberapa kilo meter sebelah barat kota Sabang. Pada saat ini pun, di depan balai kota Sabang masih terdapat tugu yang pernah menjadi penanda lokasi titik nol terbarat Indonesia. Namun dengan berjalannya waktu rupanya letak tersebut dikoreksi sehingga dibangun lagi tugu penanda kilometer nol di ujung paling barat pulau Weh.
Lokasi tersebut terletak di hutan lindung “Murung Ujung”, yang semenjak tahun 1982 merupakan bagian dari suaka alam Indonesia dengan luas 34 km². Menuju lokasi kilometer nol pada sisi kiri dan kanan jalan nampak banyak monyet liar. Jalan menuju lokasi tugu penanda kilometer nol berliku liku, naik turun melewati medan yang berbukit. Pada saat kita berada di atas bukit dapat melihat panorama laut, perpaduan yang sangat indah antara warna hijau hutan lindung dan warna biru laut di kejauhan. Pada sisi kiri dan kanan jalan nampak beberapa kelompok monyet liar.
Akhirnya kami sampai ke lokasi yang ditandai dengan gerbang dengan atap khas arsitektur Aceh dan kerumunan monyet .
Ujung terbarat wilayah Indonesia tersebut merupakan tebing yang sangat curam, dengan ketinggian +350m di atas permukaan laut. Di sebelah barat terhapar samudera luas. Sebagai penanda tepat pada titik nol terbarat Indonesia, dibangun menara yang menjulang tinggi. Pada bagaian puncak manara nampak bertengger dengan gagahnya lambang negara kita Garuda Pancasila. Prasasti peresmian titik nol yang ditandatangani oleh H. Trysutrisno tertanggal 9 September 1997 terdapat di ruang bagian bawah menara.
Posisi geografis Titik nol tersebut diukur dengan menerapkan teknologi satelit dengan “global positioning System” (GPS) oleh pakar BPPT dengan data sebagai berikut: 95ס 12’ 59,02’’ Bujur Timur dan 05 ס 54’ 21,99’’ Lintang Utara.
Sesuatu yang membuat kita terpana adalah keberadaan berpuluh puluh prasasti pada batu batu besar di sekeliling menara. Prasasti yang ditempelkan dengan perekat semen tersebut terbuat dari marmer atau logam anti karat. Semua prasasti tersebut dipasang oleh club Sepeda Motor dari berbagai merek dan berbagai kota asal dari Jawa, Kalimantan dan pulau lainnya yang telah melaksanakan perjalanan atau Touring dari daerah asal sampai ke lokasi ini. Berdasarkan perbincangan dengan mas Bimo Setyawan sebagai salah satu tokoh club motor Semarang, penulis mendapatkan informasi bahwa titik kilometer nol Indonesia di Sabang merupakan target utama mereka. Sungguh sayang sekali sebagai salah satu pecinta sepeda motor, penulis dari Semarang sampai di lokasi titik nol terbarat Indonesia justru tidak menggunakan sepeda motor.
Bagi semua pengunjung yang sampai ke titik kilometer nol Indonesia, asalkan sebelumnya sudah lapor ke dinas pariwisata di Kota sabang, akan mendapakan Sertifikat yang ditandatangani oleh Walikota Sabang, sebagai bukti telah mengunjungi titik kilometer nol Indonesia. Dalam sertifikat, tertera bahwa penulis merupakan pengunjung ke 29517. Bapak Firdaus sopir yang mengantar kami keliling pulau Weh berujar: “Bapak tinggal mencari sertifikat titik ujung Indonesia bagian timur di Merauke”. Penulis memang pernah bertugas di Jayapura Papua, namun sertifikat titik ujung paling timur Indonesia hanya diberikan apabila kita mengunjungi kota Merauke.
selanjutnya......
Untuk menuju ke pulau Weh kami menuju pelabuhan fery Ulee Lheue Banda Aceh. Sampai di Ulee Lheue memory penulis berputar kembali ke masa lalu, saat kunjungan pertama ke Banda Aceh bulan februari 2005, tepat 2 bulan setelah terjadinya bencana Tsunami dalam rangka pengabdian kepada masyarakat bersama beberapa dosen FT Undip dibawah pimpinan Bapak Dr.Ir.Joesron Alie Syahbana MSc. Sejauh mata memandang di sekitar pantai Ulee Lheu hanya nampak pemandangan yang memilukan hati, kehancuran total mayatpun banyak yang masih dievakuasi dari reruntuhan bangunan. Namun pada kunjungan yang keempat pada tahun 2010, kondisi lingkungan sudah pulih kembali, pantai Ulee Lheue telah direhabilitasi dan direkonstruksi menjadi obyek wisata kota dengan berbagai sarana dan prasarana rekreasi dan transportasi. Pelabuhan fery yang hancur dan musnah dilanda ombak Tsunami telah dibangun kembali dengan megah.
Dari pelabuhan Feri Ulee Lheue menuju pulau Weh tersedia fery kecil dengan jadwal pemberangkatan dua kali sehari, waktu yang ditempuh kurang dari 1 jam . Terdapat pula fery besar yang dapat memuat mobil dengan jadwal sekali dalam sehari. Penulis menggunakan Fery kecil dengan nama Pulo Rondo yang merupakan kapal cepat terbuat dari fiber glass.
Sampai di pelabuhan fery di kota Balohan pulau Weh, penumpang kapal disambut dengan berbagai angkutan umum mulai dari ojek, becak motor, taxi plat kuning dan taxi plat hitam.
Taxi plat kuning justru tarifnya terkadang lebih murah dibanding taxi plat hitam yang kodisinya rata rata lebih unggul. Untuk mobil plat hitam yang ber AC sewa perhari 400 sampai 500 ribu rupiah. Sedang untuk mobil plat Kuning non AC rata-rata sewa perhari 300 sampai 400 ribu rupiah. Namun harga sewa tersebut juga tetap sama meskipun waktu yang akan kita manfaatkan hanya sekitar 7 jam, antara kedatangan kapal jam 9.00 WIB dan pemberangakatan kapal kembali ke banda Aceh jam 16.00 WIB.
Sopir taxi yang saya sewa juga seolah-olah berfungsi sebagai “guide”, sebagaimana layaknya semua sopir taxi di kawasan wisata. Bahkan menurut pengakuannya pernah menempuh pendidikan sastra Inggris. Sehingga sangat mahir dalam memandu wisatawan asing keliling pulau Weh.
Pulau Weh sering juga disebut Sabang karena berada di wilayah administratif Kota Sabang. Merupakan pulau kecil dengan luas 156,3 km², tetapi memiliki banyak pegunungan dengan puncak tertinggi 617 meter. Berbagai obyek ekoturisme yang sangat menarik terutama resor pantai, danau, mendaki gunung berapi, air terjun dan menelusuri Goa alam terdapat di pulau kecil tersebut. Mengenai bahaya Tsunami yang pernah melanda kawasan pantai, nampak sudah terlupakan baik bagi penduduk setempat maupun pengunjung dari luar daerah. Meskipun demikian untuk mengantisipasi hal tersebut, selain pemasangan perangkat “tsunami early warning system” di laut, pada beberapa tempat juga terdapat informasi petunjuk jalur penyelamatan atau escape route apabila terjadi bencana alam Tsunami.
Rencana perjalanan kami adalah mengelilingi pulau Weh. Sebagai tujuan pertama adalah kota Sabang. Dalam perjalanan ke kota Sabang kami melewati Cut Ba’u yang terletak di punggung bukit, sehingga dapat melihat dengan jelas danau Aneuklaot yang sangat indah. Dari kejauhan nampak kelompok bangunan baru yang megah di tepi danau. Bangunan tersebut adalah sekolahan SMP dan SMA, sebagai bantuan dari negara Jerman dalam rangka rehabilitasi Tsunami. Dari tempat ketinggian tersebut, nampak pula pelabuhan bebas Sabang, yang dipergunakan sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati selat Malaka, sesuai dengan status Sabang sebagai Zona perdagangan bebas sejak tahun 2000.
Dari kota Sabang kami langsung menuju lokasi tugu kilo meter nol bagian terbarat Indonesia di hutan lindung Murung Ujung. Dalam perjalanan menuju lokasi kilometer Zero “the weternmost Point of Indonesia’’, di tepi jalan nampak beberapa meriam raksaksa menghadap ke laut. Meriam yang ditata rapi berjajar menghadap laut tersebut merupakan cagar budaya. Menurut informasi meriam tersebut pada tahun 2003 ditemukan di dua lokasi Pulau Weh. Sepucuk meriam ditemukan di Aneuklaot dan tiga pucuk meriam ditemukan di Cot Ba’u. Pada tahun 2004 meriam tersebut dipindahkan di lokasi sekarang agar mudah dinikmati oleh masyarakat terutama wisatawan.
Selanjutnya atas saran supir taxi yang merangkap pemandu wisata kami menuju pantai andalan Pulau Weh di Teupin Sirkui, Gapang dan Iboi. Tak lama kemudian kami sampai di pantai “Teupin Sirkui” dengan air laut berwarna biru dan hijau yang sangat jernih sehingga ikan laut warna-warni nampak jelas dipandang dari dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Dermaga tersebut digunakan untuk menaikan dan menurunkan wisatawan dari perahu boat.
Di pantai Teupin Sirkui tersedia beberapa kios cindra mata khas pulau Weh dan beberapa kedai makan yang antara lain menghidangkan berbagai menu ikan laut. Biasanya tempat ini merupakan tempat istirahat makan siang bagi wisatawan. Dari berbagai minuman kemasan yang ditawarkan terdapat pula “bir” tentu saja dengan adanya peraturan yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam maka pada kaleng “bir” tersebut tertera tulisan kandungan alkohol 0%. Setelah penulis mencoba merasakan, ternyata benar “bir” tersebut bebas alkohol. Karena bir yang bisa kita jumpai di Semarang dengan kandungan alkohol diatas 3% apabila ketahuan oleh polisi syariah akan menjadi masalah besar. Tentu saja bagi wisatawan manca negara yang menginginkan “bir beralkohol” dapat membeli melalui perantara yang memiliki strategi khusus untuk menghindari polisi syariah.
Menurut aturan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) wanita beragama islam harus memakai pakaian muslimah apabila keluar rumah. Namun di pantai ini kita dengan bebas dapat menyaksikan wanita mengenakan bikini. Karena seolah olah daerah pantai merupakan kawasan khusus yang tidak diamati secara cermat oleh polisi syariah.
Dari Teupin Sirkui kami malanjutkan perjalanan ke daerah wisata pantai yang disebut Gapang resort. Kawasan pantai ini dilengkapi oleh motel atau pesanggerahan mewah terbangun dari konstruksi kayu dengan tampilan arsitektur tropis yang menarik. Di sini tersedia pula ruang konferensi yang langsung menghadap ke laut. Daerah ini dikembangkan dengan prasarana dan prasarana wisata yang lengkap pada era pemerintahan presiden Habibie, dalam rangka meningkatkan potensi wisata di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pantai terakhir yang kami kunjungi adalah pantai Iboih yang merupakan sorganya pecinta olah raga berenang di bawah laut atau “Diving”. Semua perlengkapan menyelam dapat disewa di sini. Kawasan ini dilingkupi hutan yang nampak sangat alami. Sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan wisatawan seperti kafe dan hotel telah tersedia dengan lengkap. Bagi turis yang hendak menikmati pemandangan bawah laut menyaksikan terumbu karang dan ikan warna warni, dapat menggunakan jasa perahu untuk mengantar sampai ke lokasi penyelaman di sekitar pulau Rubiah yang terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena keindahan ikan dan terumbu karangnya. Pulau Rubiah terletak dekat sekali dengan pantai Iboih.
Setelah puas berkeliling pulau Weh Akhirnya kami kembali ke pelabuhan feri Bolangong, untuk kembali ke Banda Aceh dengan membawa kenangan indah tentang ekowisata yang menakjubkan di wilayah terbarat Indonesia.
Tulisan pendukung.
KILOMETER ZERO UJUNG TERBARAT INDONESIA.
Target Impian para biker “Club Motor”.
Sabang dikenal sebagai lokasi terbarat dari wilayah Nusantara, meskipun kenyataannya titik kilometer nol terbarat Indonesia masih terletak beberapa kilo meter sebelah barat kota Sabang. Pada saat ini pun, di depan balai kota Sabang masih terdapat tugu yang pernah menjadi penanda lokasi titik nol terbarat Indonesia. Namun dengan berjalannya waktu rupanya letak tersebut dikoreksi sehingga dibangun lagi tugu penanda kilometer nol di ujung paling barat pulau Weh.
Lokasi tersebut terletak di hutan lindung “Murung Ujung”, yang semenjak tahun 1982 merupakan bagian dari suaka alam Indonesia dengan luas 34 km². Menuju lokasi kilometer nol pada sisi kiri dan kanan jalan nampak banyak monyet liar. Jalan menuju lokasi tugu penanda kilometer nol berliku liku, naik turun melewati medan yang berbukit. Pada saat kita berada di atas bukit dapat melihat panorama laut, perpaduan yang sangat indah antara warna hijau hutan lindung dan warna biru laut di kejauhan. Pada sisi kiri dan kanan jalan nampak beberapa kelompok monyet liar.
Akhirnya kami sampai ke lokasi yang ditandai dengan gerbang dengan atap khas arsitektur Aceh dan kerumunan monyet .
Ujung terbarat wilayah Indonesia tersebut merupakan tebing yang sangat curam, dengan ketinggian +350m di atas permukaan laut. Di sebelah barat terhapar samudera luas. Sebagai penanda tepat pada titik nol terbarat Indonesia, dibangun menara yang menjulang tinggi. Pada bagaian puncak manara nampak bertengger dengan gagahnya lambang negara kita Garuda Pancasila. Prasasti peresmian titik nol yang ditandatangani oleh H. Trysutrisno tertanggal 9 September 1997 terdapat di ruang bagian bawah menara.
Posisi geografis Titik nol tersebut diukur dengan menerapkan teknologi satelit dengan “global positioning System” (GPS) oleh pakar BPPT dengan data sebagai berikut: 95ס 12’ 59,02’’ Bujur Timur dan 05 ס 54’ 21,99’’ Lintang Utara.
Sesuatu yang membuat kita terpana adalah keberadaan berpuluh puluh prasasti pada batu batu besar di sekeliling menara. Prasasti yang ditempelkan dengan perekat semen tersebut terbuat dari marmer atau logam anti karat. Semua prasasti tersebut dipasang oleh club Sepeda Motor dari berbagai merek dan berbagai kota asal dari Jawa, Kalimantan dan pulau lainnya yang telah melaksanakan perjalanan atau Touring dari daerah asal sampai ke lokasi ini. Berdasarkan perbincangan dengan mas Bimo Setyawan sebagai salah satu tokoh club motor Semarang, penulis mendapatkan informasi bahwa titik kilometer nol Indonesia di Sabang merupakan target utama mereka. Sungguh sayang sekali sebagai salah satu pecinta sepeda motor, penulis dari Semarang sampai di lokasi titik nol terbarat Indonesia justru tidak menggunakan sepeda motor.
Bagi semua pengunjung yang sampai ke titik kilometer nol Indonesia, asalkan sebelumnya sudah lapor ke dinas pariwisata di Kota sabang, akan mendapakan Sertifikat yang ditandatangani oleh Walikota Sabang, sebagai bukti telah mengunjungi titik kilometer nol Indonesia. Dalam sertifikat, tertera bahwa penulis merupakan pengunjung ke 29517. Bapak Firdaus sopir yang mengantar kami keliling pulau Weh berujar: “Bapak tinggal mencari sertifikat titik ujung Indonesia bagian timur di Merauke”. Penulis memang pernah bertugas di Jayapura Papua, namun sertifikat titik ujung paling timur Indonesia hanya diberikan apabila kita mengunjungi kota Merauke.